Mimpi Sang Pemimpi (Part I)


( Part Ragu )
--Sabtu, 31 Oktober 2015--. Terduduk lesu dan ku halau pandangan jauh kedepan melewati kaca jendela yang nampak kusam oleh tetesan embun pagi beraduk dengan sisa-sisa debu yang tidak pernah ter-bersihkan.  Suasana gelap terlihat masih menyelimuti pagi. Kepulan asap rokok yang terhembus dari rongga mulutku hilang timbul dalam remangnya kamar, bak keragu-raguanku tekad yang kembali menghinggap pikiran untuk menyatakan impian menjadi sang Traveler .


Pagi yang hening, namun tidak dengan pikiranku. Beberapa dari kalimat candaan kawan-kawanku semalam berhasil mengacaukan pikiran ini. “Kau terlalu jauh bermimpi Broe, untuk menjadi Sarjana saja 10 tahun belum bisa kau raih, apalagi keliling Indonesia. Aceh luas, apalagi seluruh dari bagian Indonesia. Ngimpi Broe!!!” Begitulah lebih kurang motivasi kecil dari mereka menjatuhkan impian yang bertahun sabar tersimpan untuk ku nyatakan. Kalut goyah iman impian ini, meski aku tahu mereka hanya bercanda untuk mengisi pembicaraan.

http://gubukpenulis.blogspot.com

Namun tetiba sepenggal kata mutiara yang sudah familiar ditelinga umum, terlintas dibenakku: Rambut hampir sama hitam tapi pikiran jauh berbeda-beda. Dalam dilema keyakinan hati, kumis tipis yang mulai menebal akibat tidak berjumpa dengan gunting selama seminggu sedikit naik mengikuti lekuk senyum yang sedikit menghiasi wajah oriental Afrika ku. Ya, yang mereka katakan adalah keraguan pada kemampuan mereka sendiri, bukan tentang aku. Jalan pikiran ku adalah aku, dan cara mereka berpikir itu mereka. Mimpi aku adalah jalanku, keraguan mereka adalah hak mereka. Tekad bulat telah terpastikan bulat, untuk apa berpikir lonjong. Sungging senyum yang ku sebut hiasan kembali pasti menjadi hiasan. Tidak ada anak sesiapapun harus bisa jadi penggoyah iman keyakinan ini. Karena disetiap usaha pasti akan ada hasil, jikalaupun hasilnya adalah kecewa. Namun itu adalah hasil.

Beranjak dari kekacauan dan kalutnya pikiranku, ku rogoh kantong jeans yang tergantung di spion sepeda motor bututku. Ujung jari tanganku terasa menyentuh logam bulat kecil, dengan sedikit usaha kecil, logam tersebut loncat keluar dan terlihat kilauan receh bertulis Seribu Rupiah. Masih dengan senyuman sembari membenamkan kembali receh tersebut ke kantong,  dalam  pikiran ku berujar “ Mimpi tidak bisa bertahan terus jadi mimpi, dan kau angka seribu akan menjadi modal awal untuk menyatakan satu impian ini.”



0 Response to "Mimpi Sang Pemimpi (Part I)"

Post a Comment