Hari mulai beranjak gelap, sudah
tidak terlihat lagi sinar matahari, yang menerangi sekitar mereka kecuali hanya
suara terjangan hujan yang jatuh di atap rumbia balai tempat mereka berteduh.
Empat pemuda tersebut mulai membongkar cariel masing-masing untuk mengeluarkan
perbekalan pendakian yang sudah mereka siapkan, kemudian mereka disibukkan
dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang menyalakan api sebagai
penerangan dan yang lain juga tampak bersemangat memasak menu yang sudah
disiapkan untuk santapan malam ini. Jam menunjukkan pukul 19:00 wib, hidangan
malam dari nasi, telur goreng, sop kentang dan kerupuk tepung sudah terisi di
piring empat pendaki muda yang masih berstatus mahasiswa salah satu perguruan
tinggi, tanpa harus dikomandoi empat piring sudah bersih dari isinya dilahap
oleh pemiliknya masing-masing. “kita besok bangun jam 07:00 dan berangkat
mendaki jam 08:00 wib, urusan istirahat
malam ini, terserah kita mau tidur jam berapa, gimana?” tanya salah satu dari
mereka, “ok, gampang itu” jawab serempak tiga lainnya. Setelah itu terdengar lelucon-lelucon diselingin
sesekali tawa akrab dari mereka serentak, yang menyatakan empat pendaki muda
itu sudah sangat akrab satu sama lain. Tidak terasa mereka asik bercengkrama
ria mengisi malam yang lebih gelap dari malam-malam mereka sebelumnya, hentakan
hujan di bumi sudah tidak terdengar dan jam sudah mengarah pada angka 12 yang
menandakan waktu sudah tengah malam.
“Aku tidur duluan,” sambil
menguap salah satu dari mereka meminta izin membaringkan tubuh di matras yang
di gelar dilantai balai tempat mereka berteduh dari hujan sejak sore tadi. Dan
selanjutnya satu persatu dari tiga pemuda lainnya juga mulai membaringkan tubuh
untuk mengambil waktu isitirahatnya.
Matahari yang belum terlihat
jelas dimana letaknya mulai menerangi bumi, pertanda pagi sudah datang. suara
ketukan sendok dan piring mengiringi pagi para pendaki yang sedang sarapan. Jam
sudah menunjukan pukul 07:55 wib, semua perlengkapan yang dibongkar semalam
dari cariel sudah tertata kembali dengan rapi dicariel masing-masing para
pendaki. Tepat jam 08:00, cariel-cariel mereka sudah berada di pundak mereka,
“untuk keselamatan dari awal hingga akhir perdakian kita mari kita berdoa dalam
hati masing-masing, Al-fatihah,” salah
seorang dari mereka yang dijadikan ketua team pendakian kali ini memimpin awal
perjalanan.
Secara beriringan para pendaki
itu mulai menapaki punggungan gunung yang menjadi target pendakian mereka,
sesekali orang paling depan dari mereka yang disebut leader mengayunkan parang
untuk membersihkan jalur dari semak-semak bekas kebun masyarakat supaya bisa
dilewati. Tidak jarang juga navigator si pemegang kompas yang berjalan
ditengah-tengah barisan menunjukkan arah untuk mengarahkan sipembuka jalur.
“Saatnya rest” ujar pendaki
berkulit hitam yang menjadi ketua team pendakian,sambil melirik jamnya yang
sudah menunjukkan pukul 12:05 wib. Keringat terlihat mulai membasahi tubuh para
pendaki yang duduk tak beraturan mengelilingi dua gelas kopi yang baru saja
dimasak dengan alat masak khusus digunung, “wak, kita sedikit buru waktu
setelah ini karena jalur pendakian kita masih panjang, pokoknya kita usahakan
basecamp kita malam nanti harus sampai di countur ini,” ujar sang navigator
sambil telunjuknya menyentuh countur yang menandakan landai dipeta.
“gimana,siap?” tanyanya lagi. “ok” jawab leader dengan pasti.
Satu persatu cariel kembali
diangkat ke bahu masing-masing, jam 13:30 wib, perjalanan kembali dilanjutkan,
sesuai arahan sang navigator, dengan sigap pemuda yang bertugas sebagai leader
dari awal pendakian mulai menerobos ilalang yang menyelimuti punggungan gunung,
tanpa terasa hari terlihat sudah agak gelap, jam menunjukkan pukul 17:10. “Ok,
sesuai target kita buka camp disini malam ini,” si ketua team menghentikan
langkah para pendaki.
Seperti biasa pendakian, personil
team mulai mengurus tugasnya masing-masing sesuai kesepakatan perencanaan
sebelum pendakian, mencari kayu bakar, memasak dan mendirikan tenda
terselesaikan dengan baik berkat saling menjaga tugas masing-masing dan kerjasama
team yang apik. Waktu sudah menginjak malam hari, team sudah menunai hak
perutnya masing-masing tanpa arahan siapapun, satu persatu personil team masuk
ketenda dan meninggalkan api kecil yang menjilat-jilat dinginnya udara malam
didepan tenda tempat merek bercengkrama sejak tadi.
Pagi kembali menyapa para
pendaki, sinar matahari pagi mengusap tenda dan para pendaki sudah siap
berangkat setelah sebelumnya mengecek semua perlengkapan dan membereskan tempat
peristirahatan semalam. Di awali dengan doa bersama para pendaki mulai menapaki
countur ke countur menerobos hutan. Dalam perjalanan acap kali pendaki
menemukan alur-alur kecil yang jernih melewati lekukan lembah, tanpa
menyentuhpun pendaki sudah bisa merasakan kesegaran dari jernihnya aliran air
alur itu. “Allah maha besar, tanpa sungai yang besar air ini mengalir jernih
diantara rimbunnya hutan menemani kehidupan satwa-satwa disini” ujar sang ketua
team sambil berjalan, “sungguh Allah maha adil dan bijaksana,” tambahnya pelan
tanpa melihat kearah siapapun sebagai lawan bicara. Matahari terlihat sudah
merangkak diatas ubun-ubun, pertanda waktu sudah tengah hari, para pendaki
sudah duduk beristirahat diantara pepohonan yang lebat menikmati kopi dan snack
roti seadanya.
Perjalanan kembali dilanjutkan,
jarum jam sudah menunjukkan pada arah pukul 13:30 wib. Dengan pasti
langkah-langkah pendaki menyusuri medan yang terlihat agak menurun dan sesekali
tangan pendaki harus berpegangan kuat pada batang-batang pohon kecil untuk
menyeimbangkan tubuhnya saat melewati medan yang agak curam. Tujuan hampir
sampai, air terjun dengan aliran deras dan segar mulai terbayang-bayang di mata
pendaki. Tepat pukul 16:17 wib, bayangan yang dari tadi mengintai otak kiri
kanan para pendaki menjadi nyata di depan mata, suara air yang jatuh terdengar
bagai irama yang membuat rasa lelah para pendaki seketika hilang, tanpa
ajak-mengajak dan tanpa kompromi mereka para pendaki langsung merendam tubuhnya
yang dari tadi dipenuhi keringat bagai air garam menyiram tubuh.
Puas bermain dengan kesegaran,
pendaki menjemur diri di batu-batu besar di dekat sungai yang menjelma bagai
surga bagi mereka, seseorang dari mereka menyela diantara suara air yang jatuh
menimpa bebatuan “hidup memang begini, bukan keinginan yang harus di paksakan
tapi mensyukuri kebutuhan yang terpenuhi” ujarnya dengan tersenyum, “dari
kemarin kita tidak bisa memakan apa yang kita inginkan kecuali hanya terbatas
perbekalan yang ada, kita tidak bisa berjalan arah sesuka hati tapi arah yang
sudah ditentukan baru kita bisa menemukan keindahan ini untuk kita nikmati”
tambahnya lagi. “ya benar memang, kenapa masih ada orang didunia yang kadang
terkesan susah hidupnya dengan segala kebutuhan yang terpenuhi, mungkin mereka
terlalu mengejar keinginan tanpa mensyukuri kebutuhan yang telah Allah berikan
pada dia, dari perjalanan kali ini aku bisa mengambil hikmah untuk perjalanan
hidup ku” ketua team menyambung pembicaran tadi “yakin berusaha dan mensyukuri
hasil dari usaha adalah cara menikmati hidup ini,” pungkas ketua team.
Matahari terlihat menyeret
cahayanya dicelah-celah puncak gunung arah barat dari basecamp tempat para
pendaki muda itu berteduh dari belaian dinginnya suasana di pinggir sungai
diantara punggung pegunungan yang menghimpit, malam mulai menyapa pendaki,
gemericik suara air dan sinar rembulan yang malu-malu menemani senyuman pendaki
malam itu yang terlihat puas dengan pencapaian sesuai target pendakian kali
ini, dibarengi nikmat dan hikmah yang bisa mereka rasakan, usaha yang lelah
terbayar sudah dengan segala keindahan didepan mata mereka.
0 Response to "MENDAPAT HIKMAH DALAM NIKMAT"
Post a Comment