Ya,Seulawah itu bukan nama pesawat terbang atau nama pria berperawakan seram tapi sebuah gunung dengan ketinggian 1800 Meter diatas permukaan
laut (Mdpl) di Provinsi Aceh. Mungkin jika kamu belum pernah mendakinya akan
mengira biasa saja dengan ketinggian 1800 Mdpl.
Untuk
menghilangkan terka-terkaan kamu. Aku ingin sedikit bercerita tentang si Dia, Seulawah sebenarnya ada dua, yaitu
Seulawah Agam (*Red “Aceh-indo”Agam-pria) dan Seulawah Inong (*Red Aceh-indo”
Inong-wanita), tapi sampai sekarang aku yang asli putra pribumi Aceh belum
pernah tahu siapa dan kenapa nama dua puncak itu seakan-akan berlainan gender,
yang pastinya Seulawah Agam terlihat lebih gagah dan kokoh di bandingkan Seulawah Inong yang view nya seperti berlindung di balik Seulawah Agam.
Disini
ku coba berbagi cerita pendakian Seulawah Agam yang sudah beberapa kali aku mengecup
ubun-ubunnya, Seulawah Agam terletak di Kabupaten Aceh Besar, kecamatan Leumbah
Seulawah atau jika kamu belum di Aceh sampai saat ini kamu bisa lihat di
lembaran peta 0421-33 SEULIMUEM (skala 1:50.000 keluaran Bakosurtanal,Tahun
Peta 1978) dengan koordinat triangulasi nya N 95o 39’ 18” T dan E 05o
26’ 54” U.
SeulawahAgam begitu namanya dari sejak ku kenal. Dalam
situasi normal dan pendakian normal kita bisa menggapai puncaknya lebih kurang 6 – 8 jam dimulai dari pinto rimba (pintu
rimba) atau sering di sebut dengan Alur Beton
yang di tandai dengan plakat Welcome yang berisi peringatan dan etika-etika
mendaki gunung yang di pasang oleh salah
satu Mapala di Aceh,di Alur Beton
ada sebuah gubuk yang di bangun masyarakat untuk tempat beristirahat dan di
depannya ada sebuah aliran seperti irigasi yang sudah di beton, air nya begitu
jernih dan menyegarkan, disini menjadi tempat favorit para pendaki untuk
membasuh diri dan mengambil persediaan air untuk pendakian. Dalam hal ini aku
ingin menceritakan budaya atau kebiasaan aku saat mendaki Seulawah agam. Aku akan menginap semalam disini untuk merasakan kesegaran air alur
beton di saat malam dan pagi hari. Mungkin pertanyaan dari teman-teman “kenapa
mesti bermalam di alur beton,” aku punya alasan budaya ku ini “tidak akan kita temui lagi aliran air
setelah pinto rimba atau alur beton ini maka nya ku sempatkan diri untuk
menikmati aliran air ini sebelum meninggalkannya.”
Setelah
alur beton kita akan sedikit mendaki dengan track yang sedikit menanjak dan itu
biasanya sangat melelahkan bagi pemula karena awal-awal pendakian sudah merasakan
tanjakan yang lumayan terjal, bagi yang sudah terbiasa mungkin ini tidak menjadi
pengaruh. Makanya saran aku jika ingin mendaki Seulawah khususnya dan
gunung-gunung lain umumnya persiapkan fisik anda sebaik mungkin,karena
kebiasaan orang dalam keadaan tidak
merasa lelah sebelum merasakan medan sebenarnya kebutuhan fisik akan sedikit dianggap
sepele. Di jalur ini,jika jiwanya memang tidak suka mendaki akan sangat merasa
bosan selama pendakian karena akan menemukan jalur panjang untuk bisa menikmati
pemandangan yang berbeda dari injakan tapak pertama kita hingga menemukan satu
tempat lapang yang tidak begitu luas menghadap ke salah satu puncak di samping
jalur Seulawah,tempat
ini dinamakan pinto angen (pintu angin). Dinamakan begitu karena tiupan anginnya yang
memang bagai tak pernah berhenti untuk mengeringkan keringat-keringat pendaki.
Menurut ku ini salah satu tempat yang paling membuai pendaki Seulawah dan akan merasa
sangat betah disini siapapun pendakinya ,biasanya ini jadi tempat para pendaki
ngopi sambil melepaskan lelah dan menikmati belaian angin.
Beranjak
dari Pinto angen biasanya dengan sedikit rasa malas kita akan menyusuri
punggungan dan bermacam batang-batang pohon berukuran besar siap menemani
perjalanan para pendaki. Di tengah perjalanan kita akan menemukan jalur yang
akan sedikit membingungkan,disini banyak pendaki yang kurang cermat dan teliti
akan salah mengambil jalur selanjutnya. Tidak jarang akan berputar-putar di sekitar itu
saja, pesan aku jangan panik jika merasa kamu sampai disini perhatikan dengan
seksama dan teliti kamu akan menemukan tanda-tanda jalur dari pendaki
sebelumnya yang ditandai dengan tali jejak dan sedikit tebasan penanda jalur.
Jalur Ini di namakan “Beringen tujoh” (Beringin tujuh) yang kata para pendaki
dulu disini ada tujuh beringin dan sekarang hanya tinggal beberapa saja. Selanjutnya
jalur yang kamu temui akan lebih terjal
dengan kemiringan yang semakin bertambah dan kamu akan disuguhkan hutan yang
luar biasa, bebatuan dan terlihat lumut-lumut tidur lelap sesukanya bagai di
film-film horor luar negeri.
Di jalur ini kita akan temukan
satu batu yang view nya mirip gajah dilengkapi dengan belalainya dan tempat ini
bisa jadi tempat istirahat para pendaki karena medannya agak landai dan cocok untuk ngopi sore sekaligus mungkin
bisa menikmati replika gajah dari batu besar yang duduk manis di antara
pepohonan lebat, dan kita sudah sampai yang para pendaki namakan “batu gajah.” Beranjak dari situ kita
akan mendaki yang jalurnya mirip tangga yang tersusun dari batu dan medannya
cukup menanjak, jika kita tidak mempersiapkan fisik dengan baik disini akan
sangat terasa menguras tenaga.
Dan
akhirnya setelah melewati countur demi countur dengan medan tangga batu kita
akan sampai di satu tempat seperti lembah, kita bisa mendirikan tenda disitu jika
personil atau team pendakiannya beranggota banyak, ini kami namakan shelter
sebelum puncak karena sedikit lagi kita mendaki akan kita temui satu puncakan
yang lengkap dengan pilar P-137 Seulawah Agam yang di renovasi oleh Pecinta
Alam se-Aceh 17-08-1995, 50 tahun Indonesia merdeka.
Dari
sedikit gambaran pendakian Seulawah yang aku ceritakan, menurut aku, banyak hal yang bisa aku
petik untuk mengenal diriku sendiri. Contoh kecil yang bisa sedikit aku ulas dari
awal pendakian yang di temani alur beton hingga track yang melelahkan untuk kita lewati dan pemandangan pinto
angen yang membuai dan akhirnya kita berdiri kokoh di puncak, aku merenungkan sambil
duduk bersila di depan pilar Seulawah, sebenar nya itu persis sama dengan kehidupan
yang di jalani manusia. Allah memberi kenikmatan dan mengujinya dengan sedikit cobaan dan
kenikmatan, haruskah
kita menyerah,terbuai dan lupa pada tujuan hidup kita yang sebenarnya? Kita
hanya sementara didalam perjalanan ini. Lakukanlah
sungguh-sungguh apa yang menjadi kewajiban, Insya Allah kita menjadi orang-orang yang menang
dan berhasil. Aku sadar aku hanya hamba yang sedang melakukan pendakian/ perjalanan mengarungi
hidup.
Penulis
“Broe” (Bukhari)
Ka.Div Mountaineering
2014-2015, UKM-PA Jabal Everest
0 Response to "Dari Mendaki Seulawah Hingga Menemukan Arti Kehidupan"
Post a Comment